[Pembahasan] Regresi Klasik dan Spasial dengan Software Geoda dan ArcGIS pada Kasus Gizi Buruk

Peta Tematik Variabel Respon

 
Gambar 1

Gambar 1 di atas menunjukkan peta tematik kasus balita penderita gizi buruk di Indonesia tahun 2014. Berdasarkan peta tersebut, provinsi di Indonesia dibagi menjadi 5 bagian. Daerah-daerah tersebut disajikan dalam Tabel berikut:

Wilayah
Provinsi
Wilayah 1 (54 : 342)
Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Kep. Babel, Kep. Riau, DIY, Bali, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel, Sultra, Sulbar, Maluku
Wilayah 2 (343 : 663)
Aceh, Sumbar, NTB, Sulteng, Gorontalo, Malut, Papua Barat
Wilayah 3 (664 : 2242)
Sumut, DKI Jakarta, Banten
Wilayah 4 (2242 : 4107)
Jawa Barat, Jawa Tengah, NTT, Papua
Wilayah 5 (4108 : 6772)
Jawa Timur

Berdasarkan letak geografis, dapat diketahui bahwa provinsi di Indonesia memiliki jumlah kasus balita penderita gizi buruk yang cenderung berdekatan. Secara geografis, hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh spasial pada sebaran data jumlah kasus gizi buruk. Oleh karena itu, selanjutnya akan dilakukan pengujian efek spasial secara kuantitif untuk mengetahui pengaruh spasial pada data.

Pengujian Efek Spasial

    
Gambar 2

Gambar 2 tersebut menunjukkan bahwa pola data berada pada kuadran I  dan III.  Hal  ini  berarti  bahwa  provinsi  dengan  nilai  yang  tinggi  pada  setiap variabel mengelompok pada daerah yang nilainya tinggi juga dan daerah dengan nilai yang  rendah  berkelompok  dengan  daerah  yang  memiliki  nilai rendah  pula.  Pada variabel   Y,   provinsi   yang memiliki   angka gizi buruk yang   tinggi   berkelompok   dengan provinsi yang  memiliki  angka gizi buruk yang tinggi  pula  dan provinsi  yang  memiliki  angka gizi buruk yang  rendah berkelompok  dengan  angka gizi buruk yang  rendah  pula.  Adapun  nilai masing-masing Moran’s I pada  variabel-variabel  tersebut  disajikan  pada Tabel  berikut:
Berdasarkan tabel diatas dan nilai I0 terlihat bahwa semua nilai Moran’s I bernilai lebih besar dari I0 yang artinya semua variabel baik bebas maupun terikat memiliki autokorelasi positif. Pada Gambar 2, menunjukkan bahwa data berkelompok pada kuadran I dan III yang berarti data memiliki autokorelasi positif. 

Hasil uji moran’s I mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh spasial pada kasus gizi buruk di Indonesia yakni data  memiliki autokorelasi positif dan berkelompok pada kuadran I dan III.  Oleh karena asumsi spasial terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan pengujian model spasial. Pada tulisan ini, akan dilakukan pengujian model menggunakan   pendekatan regresi klasik dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan pendekatan spasial dengan metode Spatial Autoregressive (SAR) dan Spatial Error Model (SEM), dari ketiga metode tersebut selanjutnya akan dipilih model terbaik dengan cara membandingkan nilai koefisien determinasi (R2), AIC dan SIC.

Pengujian Model Regresi

1) Regresi Klasik
Estimasi parameter pada model regresi klasik dapat dilihat pada tabel berikut :
Berdasarkan tabel di atas, dengan metode regresi klasik diperoleh beberapa variabel yang signifikan pada taraf α = 5%, yakni variabel jumlah penduduk miskin (X2), persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5) dan persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6). Sedangkan untuk variabel persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih (PHBS) (X1), kepadatan penduduk (X3) dan persentase pemberian vitamin A pada balita usia 6-59 bulan (X4) hasilnya tidak signifikan karena nilai p-value lebih dari alpha (α). Dengan demikian diperoleh pemodelan regresi klasik sebagai berikut: 

Ŷ = 1613,468 + 0,001 X2 + 31.860 X5 – 48.673 X6
Secara umum, model dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

  1. Jika jumlah penduduk miskin (X2) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 0,001.
  2. Jika persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 31.860.
  3. Jika persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menurunkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 48.673.
Model regresi yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 0,8695 atau 86,95% yang berarti model dapat menjelaskan keragaman angka gizi buruk di Indonesia sebesar 86,95% sedangkan sisanya sebesar 13,05% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada pemodelan SAR diperoleh nilai AIC sebesar 521,319 dan SIC sebesar 531,794.2) Spatial Auto Regressive (SAR)

Estimasi parameter pada model Spatial Autoregressive Model (SAR) dapat dilihat pada tabel berikut:
Variabel
Koefisien
Std. Eror
t-statistik
Probabilitas
W_Y
-0,0734
0,0925
-0,7930
0,4277
Konstanta
1739,913
650,6477
2,6741
0,0074
X1
9,0532
7,5820
1,1940
0,2324
X2
0,0012
0,0001
11,5684
0,0000
X3
0,1012
0,0496
2,0397
0,0413
X4
2,1204
15,6115
0,1358
0,8919
X5
31,7524
7,4691
4,2511
0,0000
X6
-53,0555
17,0017
-3,1205
0,0018
R-Square = 0,8713
AIC = 522,908
SIC = 534,88
Dari output di atas dapat dilihat bahwa dengan metode SAR menghasilkan variabel signifikan pada taraf α = 5% yang berbeda dengan metode OLS yaitu diantaranya variabel jumlah penduduk miskin (X2), kepadatan penduduk (X3), persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5) dan persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6). Sedangkan persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih (PHBS) (X1) dan persentase pemberian vitamin A pada balita usia 6-59 bulan (X4) hasilnya tidak signifikan karena nilai p-value lebih dari alpha (α). Secara umum model SAR yang menggunakan taraf signifikan 5% dapat dinyatakan sebagai berikut:

Ŷ= 1739,913 – 0,0734 Wy+ 0,0012X2 + 0,1012X3 + 31,7524X5 – 53,0555X6

Keterangan :
Y   = Jumlah kasus balita penderita gizi buruk di Indonesia 
X1 = Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih (PHBS)
X3 = kepadatan penduduk
X5 = Persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif 
X6 = persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil

Secara umum, model dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
  1. Jika jumlah penduduk miskin (X2), pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 0,0012.
  2. Jika kepadatan penduduk (X3) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 0,1012.
  3. Jika persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 31,7524.
  4. Jika persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menurunkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 53,0555.
Model regresi yang terbentuk mempunyai nilai R2 sebesar 0,87139 atau 87,139% yang berarti model dapat menjelaskan keragaman angka gizi buruk di Indonesia sebesar 87,139% sedangkan sisanya sebesar 12,861% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada pemodelan SAR diperoleh nilai AIC sebesar 522,908 dan SIC sebesar 534,88.3) Spatial Error Model (SEM)
Estimasi parameter pada model Spatial Error Model (SEM) dapat dilihat pada tabel berikut:
Variabel
Koefisien
Std. Eror
t-statistik
Probabilitas
Konstanta
1673,508
485,1695
3,4493
0,0005
X1
12,8901
7,3433
1,7553
0,0792
X2
0,0011
6,5806
17,0902
0,0000
X3
0,0974
0,0041
2,3439
0,0190
X4
9,6314
14,9434
0,6445
0,5192
X5
26,1333
7,2007
3,6292
0,0002
X6
-58,7818
16,2959
-3,6071
0,0003
LAMBDA
-0,3490
0,1903
-1,8338
0,0666
R-Square = 0,8819
AIC = 519,421
SIC = 529,897
Dengan metode SEM seperti pada gambar diatas, didapatkan model regresi SEM seperti berikut ini:

Y=1673,508+0,001X2+0,0974X3+26,1333X5-58,7818X3+u

dengan u=-0,3490Wu+ε

Pada model regresi SEM, pengaruh korelasi spasial diakomodir dalam model dengan memasukkan variabel penimbang spasial LAMBDA. Hasil analisis SEM diperoleh empat variabel yang signifikan, yaitu jumlah penduduk miskin (X2), kepadatan penduduk (X3), persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5), dan persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6). Nilai R-Squared sebesar 0,8819 atau 88,19% menunjukkan bahwa kemampuan model menjelaskan kasus gizi buruk di Indonesia sebesar 88,19% sedangkan sisanya sebesar 11,81% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Pada pemodelan SEM diperoleh nilai AIC sebesar 519,421 dan SIC sebesar 529,897.

Secara umum, model dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
  1. Jika jumlah penduduk miskin (X2) di suatu provinsi naik sebesar satu satuan dan faktor lain dianggap konstan, maka bisa menambah gizi buruk sebesar 0,001.
  2. Jika kepadatan penduduk (X3) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 0,0974.
  3. Jika persentase bayi usia 0-6 bulan yang mendapatkan ASI Ekslusif (X5) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menaikkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 26,1333.
  4. Jika persentase pemberian 90 tablet tambah darah pada ibu hamil (X6) pada suatu provinsi naik sebesar satu satuan, dan faktor lain tetap atau konstan maka bisa menurunkan angka gizi buruk di Indonesia sebesar 58,7818.
Pemilihan Model Terbaik

Pemilihan model terbaik antara model regresi klasik, SAR dan SEM bertujuan untuk mengetahui model mana yang lebih baik diterapkan pada kasus balita penderita gizi buruk di Indonesia. Kriteria kebaikan model yang digunakan adalah dengan membandingkan nilai R2, nilai AIC (Akaike’s Information Criterion) dan nilai SIC (Schwarz Information Criterion) dari ketiga model tersebut. Berikut perbandingan modelnya.
Model
R2
AIC
SIC
Regresi Klasik
86,95%
521,319
531,794
SAR
87,13%
522,908
534,88
SEM
88,19%
519,421
529,897
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa model dengan nilai R2 terbesar adalah dengan model SEM, nilai AIC terkecil yaitu model SEM dan nilai SIC terkecil yaitu model SEM. Sehingga model SEM lebih baik digunakan untuk menganalisis data kasus balita penderita gizi buruk dibandingkan dengan model regresi klasik dan SAR.

Demikian


Semoga Bermanfaat
Previous
Next Post »

3 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
November 3, 2017 at 1:09 AM delete

kak mau tanya, kakak kan pake aplikasi open Geoda untuk melihat hasil output SAR, SEM dan OLS. Nah mau tanya untuk aplikasi Geoda sendiri selalu menggunakan alfa 5% atau gimana ya kak itu? masih bingung dipemilihan alfanya

Reply
avatar
Slamet Abtohi
AUTHOR
November 11, 2017 at 7:12 AM delete

Kalau untuk defaultnya memang 0.5, untuk alfa yang selain itu saya belum pernah coba mb, itu dulu saya pakai geoda cuma buat keperluan analisis spasial, tidak secara spesifik mempelajari aplikasi itu, mungkin lebih jelasnya mbaknya bisa belajar lewat buku tutorial geoda, bisa buka di link:

www.csiss.org/clearinghouse/GeoDa/geodaworkbook.pdf

Manatau ada jawabannya disana mbak, terimakasih
Semoga bermanfaat :)

Reply
avatar
apikudin
AUTHOR
May 13, 2018 at 2:13 PM delete

interpretasi koefisien Wy dan Wu gmn mas?

Reply
avatar


:) :( hihi :-) :D =D :-d ;( ;-( @-) :P :o -_- (o) :p :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (y) (f) x-) (k) (h) cheer lol rock angry @@ :ng pin poop :* :v 100

Weekly